Book Review : Prada and Prejudice by Mandy Hubbard

Assalamualaikum... Sebagai seseorang yang sangat menggemari buku-buku karya Jane Austen, dan setelah mengetahui ada banyak buku-buku p...

Assalamualaikum...

Sebagai seseorang yang sangat menggemari buku-buku karya Jane Austen, dan setelah mengetahui ada banyak buku-buku parodi dari karya-karya Jane Austen dan buku-buku Austen-inspired, saya merasa tertarik juga untuk membaca buku-buku tersebut. Salah satunya adalah Prada and Prejudice yang merupakan satu dari sekian banyak kisah yang ditulis oleh seorang penulis bernama Mandy Hubbard, karena terinspirasi oleh kisah karya Jane Austen, Pride and Prejudice.

Sinopsis 
Sepasang sepatu bagus akan membawamu ke tempat yang tak pernah kaupikirkan sebelumnya!

Callie percaya bahwa sepasang sepatu Prada akan menjadi kuncinya untuk menaklukkan London. Hanya dengan sepatu itu, keadaan akan berbalik. Dia akan menjadi populer dan teman-temannya akan mengaguminya. Dan siapa bilang mengubah keadaan tidak semudah membalikkan telapak tangan? Callie sudah membuktikannya. Gara-gara tersandung saat memakai sepatu barunya, dia terlempar ke tahun 1815!

Untunglah ada Emily, yang menerimanya dengan penuh keramahan. Tetapi, dia juga harus menghadapi Alex, sang Duke muda yang tampan namun pongah dan menyebalkan. Di tengah kekalutannya di dunia yang sama sekali asing baginya, Callie harus menyelamatkan Emily dari perjodohan paksa, juga melawan Alex yang sepertinya sangat membencinya.

Mampukah Callie melakukan tugasnya? Akankah dia berhasil kembali ke abad ini? Pakai sepatumu yang paling bagus dan ikutlah bertualang bersama Callie ke tempat yang tidak pernah kaupikirkan sebelumnya!

Identitas Buku
Judul : Prada and Prejudice
Penulis : Mandy Hubbard
Genre : Fiksi
Bahasa : Indonesia
Jumlah Halaman : 306
Penerjemah : Berliani Mantili Nugrahani
Penerbit : Atria
ISBN : 978-979-1411-95-0
Ukuran Buku : 20,5 x 13 cm
Terbit pertama kali di Indonesia : Juli 2010

Review
Dalam buku ini, cerita diawali dengan perjalanan studi tour Callie Montgomery ke London. Sebagai seorang siswi yang tidak populer di sekolahnya, sesampainya di London Callie merasa sedih dan kesepian. Karena sebelum studi tour dimulai hampir semua siswa-siswi yang mengikuti studi tour tersebut, berjalan-jalan menikmati indahnya kota London. Namun, tidak ada yang mengajaknya untuk ikut serta bersenang-senang. Akibatnya, gadis malang berusia 16 tahun ini hanya duduk-duduk saja di kafe hotel. Dalam situasi seperti itu, Callie sangat menyesalkan kepindahan sekolah satu-satunya sahabat yang dulu selalu menemaninya. Terpikirkan oleh Callie untuk mencoba bergabung saja dengan kelompok populer A-List. Dan menurut pemikiran Callie, untuk bisa diterima anak-anak kelompok A-List, ia membutuhkan barang-barang bermerk. Salah satunya adalah sepatu. Sepasang sepatu bermerk Prada.

Callie memutuskan untuk beranjak dari kafe dan mencari toko yang menjual sepatu merk Prada. Ketika Callie sampai di sebuah toko dan menemukan sepatu yang ia inginkan, tanpa berpikir panjang Callie membayarnya dengan menggunakan Credit Card yang diberikan ibunya sebelum ia pergi ke London.

Merasa sangat senang bisa mendapatkan sepatu yang ia inginkan, Callie langsung memakainya dan keluar dari toko tersebut. Benar saja, seperti yang ia pikirkan sebelumnya, bahwa sesungguhnya memakai sepatu berhak tinggi tidaklah nyaman. Ketika Callie terus berusaha membiasakan berjalan menggunakan sepatu barunya, tiba-tiba ia tersandung, jatuh dan kepalanya menghantam trotoar. Callie pun tak sadarkan diri.

Saat Callie tersadar, ia merasa kaget dan sedikit ketakutan. Karena kini, ia berada di suatu tempat yang ia yakini tidak pernah ia kunjungi sebelumnya. Suatu tempat dengan keadaan deretan pepohonan dimana-mana, dan kini ia tengah berada diatas tanah yang agak becek. Keheranannya bertambah ketika terdengar suara yang semakin lama semakin terdengar jelas. Suara tersebut berasal dari roda-roda kereta kuda yang kini melewatinya. Tak hanya sampai disitu, Callie melihat orang-orang berlalu lalang dengan pakaian yang menurutnya adalah pakaian yang telah kuno. Namun, Callie tidak mempedulikan keadaan disekitarnya itu. Ia berusaha bangkit, berjalan untuk sesegera mungkin beranjak dari tempat itu dan mencari pusat kota London, tempat seharusnya dia berada. Karena Callie sangat yakin, bahwa sebelum pingsan dirinya masih berjalan-jalan di sekitar pusat kota London dengan deretan gedung-gedung tinggi dan area pertokoan modern yang ramai.

Malam pun hampir tiba, Callie merasa semakin khawatir karena ia kini yakin bahwa dirinya kini tengah tersesat. Setelah banyak berpapasan dengan orang-orang dan setelah memperhatikan keadaan dan bangunan-bangunan ditempat yang menurutnya aneh itu, sedikit demi sedikit Callie menerima kenyataan bahwa kini ia sudah tidak lagi berada di London pada abad 21. Menurut informasi yang ia dapat, saat ini ia berada di tahun 1815.

Ditengah rasa sedih, takut dan khawatir, Callie menemukan sebuah kastil. Ketika mendekati rumah tersebut hendak meminta izin untuk menginap, Callie justru disambut hangat dan ramah oleh seorang gadis bangsawan yang mengaku sangat bahagia dengan kedatangannya. Gadis ramah dan baik hati itupun segera mengajak Callie masuk ke rumah. Callie bingung, karena Emily terus-terusan menyebutnya sebagai Rebecca. Yaph, Emily mengira bahwa Callie adalah sahabatnya yang bernama Rebecca yang berasal dari Amerika. Sahabat yang sebelumnya belum pernah bertatap muka dengannya. 

Kemudian tak hanya Emily yang menyambut dan menganggapnya sebagai Rebecca, namun juga Victoria, bibi dari Emily dan Alex, sang Duke muda yang merupakan sepupu Emily dan sekaligus pemilik kastil tersebut.

Callie yang semakin kebingungan, khawatir dan tidak tahu pula bagaimana harus menjalani hidup selama ia belum bisa kembali ke masanya, kemudian berniat untuk mengaku berpura-pura sebagai Rebecca, sahabat Emily dari Amerika.

Ditengah rasa kalutnya harus hidup di tahun 1815 dengan segala peraturannya dan etiket yang menurutnya sangat mengekangnya, termasuk kewajiban untuk mengenakan korset bagi seorang perempuan demi kesempurnaan penampilan. Sungguh, itu hal yang amat tidak ia sukai. Tidak hanya sampai disitu, Callie dituntut Emily untuk bisa menyelamatkannya dari perjodohan yang tak pernah Emily inginkan.

Getar-getar cinta kepada Alex pun mulai tumbuh di hati Callie. Namun, Alex hanya selalu menampakan sikap dinginnya dan entah mengapa Callie merasa, bahwa Alex justru membencinya.

Berhasilkah usaha Callie untuk mencegah perjodohan Emily dengan laki-laki tua yang tidak dicintai Emily?
Bagaimana dengan Alex, sang Duke muda tampan, apakah benar ia membenci Callie seperti yang Callie yakini? ataukah hanya praduga (Prejudice) Callie saja bahwa Alex tidak pernah menyukainya?
Dan berhasilkah Callie kembali ke abad 21?

Kelebihan, Kekurangan dan Rating untuk Prada and Prejudice
Dengan latar tempat dan kehidupan bangsawan Inggris pada tahun 1800an, cerita dan penokohan yang menarik, alur yang tak terduga dan unsur humor yang cukup kental (terlebih memang saya juga penyuka buku-buku bergenre komedi) dan terjemahan yang enak dibaca, saya sangat menyukai buku ini.

Dan dengan desain cover yang cantik, yang setelah saya bandingkan dengan cover-cover edisi lainnya di beberapa negara, menurut saya desain cover terbitan dari Penerbit Atria ini, desainnya memang lebih oke. 


Bagi saya, cerita dari buku ini mengingatkan kembali, bahwa mengeluh bukanlah suatu penyelesaian. Berusaha dan bekerja keraslah untuk mendapatkan apa yang kamu mau. Kekayaan, gelar, dan popularitas bukanlah segalanya. Dan jangan lupa untuk selalu berpikir positif dan percaya diri.

Meski dibuat kecewa dengan ending yang menggantung, sekali lagi, saya sangat menyukai buku ini. Terakhir, saya persembahkan 4/5 bintang untuk Prada and Prejudice.

Wassalamualaikum... Wr. Wb.

You Might Also Like

10 Comments