Astronomy
MENGAPA PLUTO DIKELUARKAN DARI TATA SURYA?
May 10, 2011
Jadi, mulai Kamis (24/8/2006) jangan pernah terpeleset mengucapkan Planet
Pluto. Karena sejak hari itu, Pluto sudah tidak lagi berhak menyandang
predikat sebagai planet.
Sidang Umum Himpunan Astronomi Internasional (International
Astronomical Union/IAU) Ke-26 di Praha, Republik Ceko, yang berakhir 25
Agustus, menghasilkan keputusan bersejarah dalam dunia astronomi
dengan mengeluarkan Pluto dari daftar planet-planet di Tata Surya kita.
Mulai sekarang, anggota Tata Surya hanya terdiri dari delapan planet,
yakni Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, dan
Neptunus.
Keputusan mengeluarkan Pluto yang sudah menjadi anggota Keluarga Planet
Tata Surya selama 76 tahun merupakan konsekuensi ditetapkannya
definisi baru tentang planet. Resolusi 5A Sidang Umum IAU Ke-26 berisi
definisi baru itu.
Dalam resolusi tersebut dinyatakan, sebuah benda langit bisa disebut
planet apabila memenuhi tiga syarat, yakni mengorbit Matahari,
berukuran cukup besar sehingga mampu mempertahankan bentuk bulat, dan
memiliki jalur orbit yang jelas dan "bersih" (tidak ada benda langit
lain di orbit tersebut).
Definisi tersebut adalah definisi universal pertama tentang planet
sejak istilah planet dikenal di kalangan astronom, bahkan sebelum era
Nicolaus Copernicus yang tahun 1543 membuktikan Bumi adalah salah satu
planet yang berputar mengelilingi Matahari.
Dengan definisi baru tersebut, Pluto tidak berhak menyandang nama
planet karena tidak memenuhi syarat yang ketiga. Orbit Pluto memotong
orbit planet Neptunus sehingga dalam perjalanannya mengelilingi
Matahari, Pluto kadang berada lebih dekat dengan Matahari dibandingkan
Neptunus.
Planet kerdil
Pluto kemudian masuk dalam keluarga baru yang disebut planet kerdil
atau planet katai (dwarf planets). Keluarga ini beranggotakan Pluto dan
benda-benda langit lain di Tata Surya yang mirip dengan Pluto,
termasuk di dalamnya asteroid terbesar Ceres, satelit Pluto, Charon,
dan beberapa benda langit lain yang baru saja ditemukan.
Menurut Direktur Observatorium Bosscha di Lembang, Jawa Barat, Dr
Taufiq Hidayat, keputusan Sidang Umum IAU tersebut adalah puncak
perdebatan ilmiah dalam astronomi yang sudah berlangsung sejak awal
1990-an lalu. Perdebatan tersebut dipicu berbagai penemuan baru yang
menimbulkan keraguan apakah Pluto masih layak disebut planet atau
tidak.
"Karakteristik Pluto memang berbeda dengan planet-planet lainnya.
Bahkan komposisi kimianya lebih menyerupai komet daripada planet,"
ungkap astronom yang mendalami bidang ilmu-ilmu planet ini.
Selain itu, perkembangan teknologi teleskop juga membawa pada penemuan
berbagai benda langit yang masuk dalam kelompok Obyek Sabuk Kuiper
(Kuiper Belt Object/KBO). Sabuk Kuiper sendiri adalah sebutan untuk
wilayah di luar orbit planet Neptunus hingga jarak 50 Satuan Astronomi
(SA/1 Satuan Astronomi = jarak rata-rata Matahari-Bumi, yakni sekitar
149,6 juta kilometer) dari Matahari.
Beberapa KBO sangat menarik perhatian karena berukuran hampir sama atau
bahkan lebih besar daripada Pluto (diameter 2.300 km) dan ada yang
memiliki satelit atau "bulan".
Beberapa obyek tersebut, antara lain,
Quaoar (diameter 1.000 km-1.300 km), Sedna (1.180 km- 1.800 km), dan
yang paling terkenal adalah obyek bernama 2003 UB313 yang ditemukan
Michael Brown dari California Institute of Technology (Caltech) pada
2003 lalu.
Obyek yang dijuluki Xena tersebut memiliki diameter 2.400
km, yang berarti lebih besar daripada Pluto. Xena sempat dihebohkan
sebagai planet ke-10 Tata Surya.
Sejak saat itu, lanjut Taufiq, terjadi perbedaan pendapat di kalangan astronom. "Pilihannya adalah memasukkan Ceres, Charon, dan 2003 UB313 ke dalam keluarga planet sehingga jumlah planet menjadi 12, atau mengeluarkan Pluto.
Sejak saat itu, lanjut Taufiq, terjadi perbedaan pendapat di kalangan astronom. "Pilihannya adalah memasukkan Ceres, Charon, dan 2003 UB313 ke dalam keluarga planet sehingga jumlah planet menjadi 12, atau mengeluarkan Pluto.
0 Comments