Memaknai Isra Mi'raj
June 17, 2012
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu
malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi
sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.”
(QS al-Isra’ [17]: 1).
Ka'bah di dalam Masjidil Haram, |
Mahasuci Allah adalah sebuah kalimat tauhid. Allah Mahasuci dari
sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. Suci dari meninggalkan hamba yang
dikasihi-Nya berada dalam kesedihan dan kesendirian ketika ditinggal
oleh orang-orang yang dicintai dan menopang dakwahnya. Suci dari tidak
kuasa mengadakan kejadian luar biasa, yang orang-orang berakal pun tidak
bisa menerimanya.
Peristiwa Isra dan Mi’raj yang berlangsung lailan (pada sepotong,
bukan sepanjang malam) adalah salah satu hal yang luar biasa. Luar
biasa, sehingga kita pun perlu mengucapkan subhanallah seperti ayat di
atas agar tidak terlena dengan keluar-biasaannya (kemahabesaran) dan
kekuasaan Allah SWT.
Mengalami peristiwa ini adalah suatu kemuliaan yang besar. Dan,
kemuliaan hanya diberikan kepada orang yang mulia. Beliaulah Rasulullah
SAW. Karena itu, saat yang paling mulia bagi Rasulullah SAW adalah
ketika sedang menjalani Isra dan Mi’raj.
Masjid Al-Aqsa |
Bukan ketika beliau berhijrah ke Madinah atau saat beliau menaklukkan
Kota Mekkah. Karena, saat Isra dan Mi’raj, sekali-kalinya Allah SWT
berfirman kepada beliau tanpa perantara Malaikat Jibril RA.
Namun, yang membuat kita bertanya-tanya, mengapa ketika berada dalam
kondisi yang paling mulia ini, beliau disebut dengan hamba-Nya? Seperti
tertulis nyata dalam surah al-Isra [17]: 1. Mengapa beliau tidak
disebut dengan rasul-Nya, nabi-Nya, kekasih-Nya, atau Muhammad saja?
Kesimpulan para ulama, ayat ini menunjukkan bahwa kondisi paling
mulia yang dicapai manusia adalah ketika dia bisa merealisasikan dirinya
sebagai hamba Allah SWT. Saat itulah Allah SWT rida kepadanya.
Lalu, bagaimana seseorang bisa menjadi hamba Allah SWT yang
sebenarnya? Menjadi hamba Allah SWT adalah meyakini bahwa Allah adalah
penciptanya yang berkuasa atas segala sesuatu. Sedangkan dia adalah
hamba yang lemah, tiada daya dan upaya, menerima segala keputusan Allah
SWT dengan penuh kerelaan.
Ketika memperjalankan hamba-Nya dengan peristiwa Isra, Allah SWT membuka kesempatan yang sama kepada seluruh manusia untuk bisa mencapai derajat kemuliaan. Karena, seluruh manusia sama-sama bisa menjadi hamba Allah SWT.
Ketika memperjalankan hamba-Nya dengan peristiwa Isra, Allah SWT membuka kesempatan yang sama kepada seluruh manusia untuk bisa mencapai derajat kemuliaan. Karena, seluruh manusia sama-sama bisa menjadi hamba Allah SWT.
Berbeda seandainya yang diperjalankan adalah seorang nabi, tidak
semua orang bisa menjadi nabi; atau seorang kaya, tidak semua orang bisa
menjadi orang kaya; atau ulama, tidak semua orang bisa menjadi ulama;
atau keturunan nabi, tidak semua orang lahir sebagai keturunan nabi.
Demikianlah karakteristik Islam, yang tidak menjadikan kemuliaan
monopoli bagi golongan tertentu. Tidak ada alasan bagi seseorang untuk
membanggakan nasabnya, karena Allah SWT tidak menilainya berdasar nasab.
Tidak ada alasan bagi seseorang untuk membanggakan ilmu dan hartanya,
karena ilmu dan harta adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan.
Hendaknya bersyukur ketika semua itu membuatnya menjadi hamba Allah SWT
yang sebenarnya.
0 Comments