Book Review : Dibawah Lindungan Ka'bah by HAMKA

... Maksud yang engkau terangkat itu, amat saya setujui, itulah suatu maksud yang baik, sebab itu adalah suatu hikayat dan kejadian yang m...

... Maksud yang engkau terangkat itu, amat saya setujui, itulah suatu maksud yang baik, sebab itu adalah suatu hikayat dan kejadian yang mendukakan hati dan merawankan pikiran, yang kerap kali benar kejadian dalam kalangan pemuda-pemudi kita.

... Demi bila buku itu telah selesai, kirimkanlah kiranya kepadaku barang senaskah, guna menghidangkan kenang-kenanganku kepada masa yang telah lampau, semasa kita masih bernaung DI BAWAH LINDUNGAN KA'BAH.


Identitas Buku
Judul : Dibawah Lindungan Ka'bah
Penulis : HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Abdullah)
Bahasa : Indonesia
Tebal/Format/Ukuran Ebook : 30 Halaman/PDF/102 KB
Kategori : Fiksi, Romance, Islam, Sastra, Klasik
Dipublikasikan oleh Pustaka Antara
Rating : 4/5 Bintang

Review
Haji Jafar dan istrinya, mak Asiah, dikenal sebagai sepasang suami istri yang kaya raya. Keduanya juga memiliki hati yang baik. Hamid, seorang anak yatim yang miskin diangkat anak oleh keluarga kaya raya tersebut. Hamid sangat rajin, sopan, berbudi luhur, dan taat beragama, sehingga Haji Jafar dan mak Asiah sangat menyayanginya. Bahkan, mereka sudah menganggap Hamid seperti anak mereka sendiri. Bersama dengan anak kandungnya, Zaenab, Haji Jafar menyekolahkan Hamid di sebuah sekolah rendah (mungkin maksudnya pendidikan dasar?).

Begitu pula dengan Hamid, ia sangat menyayangi Zaenab. Ia sudah dianggap sebagai adik kandungnya sendiri. Hamid selalu berusaha untuk selalu ada, membantu, menjaga dan melindungi Zaenab. Zaenab pun merasa senang dengan kehadiran Hamid di keluarganya. Ia pun menganggap Hamid seperti kakak kandungnya. Karena bersekolah ditempat yang sama, keduanya sering berangkat dan pulang sekolah bersama. Ia banyak menggunakan waktunya untuk bersama-sama, bermain dan belajar dengan Hamid.

Beranjak remaja, mulai tumbuh perasaan lain di hati Hamid dan Zaenab, suatu perasaan yang belum mereka rasakan sebelumnya. Hamid merasa bahwa rasa sayang terhadap Zaenab bukan lagi perasaan sayang kepada adiknya. Demikian pula halnya dengan apa yang dirasakan Zaenab terhadap Hamid.

Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah rendah, atas keinginan Engku Haji Jafar dan keinginannya juga untuk lebih banyak lagi mendapatkan ilmu, Hamid melanjutkan sekolah ke Padang Panjang. Dengan berat hati Hamid meninggalkan Zaenab. Karena, pada masa itu, seorang gadis yang telah menamatkan sekolah rendah tidak boleh meneruskan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi. Mereka dipingit oleh orang tuanya untuk kemudian dinikahkan dengan pilihan orang tuanya. Demikian pula dengan Zaenab, ia tidak melanjutkan sekolahnya. Ia dipingit oleh kedua orang tuanya.

Terpisah dari Zaenab, semakin membuat Hamid sadar bahwa akan perasaan cintanya kepada Zaenab yang semakin hari semakin kuat ia rasakan. Semakin hari pula, ia semakin tersiksa akan rasa rindu yang ia rasakan kepada Zaenab. Namun, ia tidak berani mengutarakan perasaan hatinya. Rasa cinta yang bergelora terhadap Zaenab hanya dipendam saja, karena ia menyadari adanya jurang pemisah yang sangat dalam diantara mereka. Zaenab berasal dari keluarga berada dan terpandang, sedangkan dia hanya berasal dari keluarga miskin.

Disaat merasa tersiksa dan tidak tahu harus berbuat apa atas apa yang ia rasakan kepada Zaenab, Haji Jafar, ayah Zaenab yang sekaligus ayah angkatnya, meninggal dunia, yang tidak lama kemudian , ibu kandungnya pun meninggal dunia. Betapa pilu hatinya ditinggalkan oleh kedua orang yang sangat dicintainya. Kini dia merasa hidup sebatang kara. Ia merasa tidak lebih sebagai pemuda yatim piatu yang miskin. Sejak kematian ayah angkatnya, Hamid tidak dapat menemui Zaenab lagi karena gadis itu telah dipingit ketat oleh mamaknya, mak Asiah.

Hamid berpikir untuk benar-benar harus menguburkan perasaan cintanya kepada Zaenab.

Hati Hamid hancur ketika ia mengetahui bahwa maknya, Asiah, yang sudah ia anggap seperti mak kandungnya sendiri itu akan menjodohkan Zaenab dengan seorang pemuda yang memiliki hubungan kekerabatan dengan almarhum ayah angkatnya.

Bahkan, Mak Asiah menyuruh Hamid untuk membujuk Zaenab agar gadis itu menerima pemuda pilihan ibunya sebagai calon suaminya. Betapa hancur hati Hamid menerima kenyataan itu. Cinta kasihnya kepada gadis pujaan hatinya tidak akan pernah tercapai. Hatinya semakin terasa hancur. Dengan berat hati, Hamid menuruti kehendak Mak Asiah. Dia menemui Zaenab dan membujuk gadis yang dicintainya itu agar mau menerima pemuda pilihan mamaknya.

Hati Zaenab pun hancur. Betapa ia ingin menolak kehendak maknya itu, namun ia tidak mampu melakukakanya. Sehingga dengan sangat terpaksa, ia menerima pemuda pilihan maknya untuk menjadi suaminya.

Saat Zaenab mengaku mau menerima perjodohan itu, Hamid memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya karena tidak sanggup menanggung beban yang begitu berat atas perasaan cintanya yang begitu besar yang harus ia kubur dalam-dalam.

Hamid meninggalkan Zaenab dan pergi ke Medan. Sesampainya di Medan, dia menulis surat kepada Zaenab. Melalui surat itu, Hamid menuliskan isi hatinya kepada gadis itu. Selanjutnya, dari Medan, Hamid melanjutkan perjalanan menuju Singapura untuk kemudian menuju  ke tanah suci Mekkah.

Saat menerima dan kemudian membaca surat dari Hamid, betapa sedih dan hancurnya hati Zaenab, karena memang, ia pun mencintai Hamid. Namun, ia harus melupakan cintanya karena mamaknya telah menjodohkan dirinya dengan pemuda lain.

Dirundung kesedihan yang begitu dalam, Zaenab menjadi sering sakit-sakitan. Ia telah kehilangan semangat hidupnya. Sementara, Hamid yang juga selalu dirundung kegelisahan karena menahan beban rindunya pada Zaenab, untuk menghapus kerinduannya, dia bekerja pada sebuah penginapan milik seorang syekh. Sambil bekerja, dia terus memperdalam ilmu agam Islam dengan tekun. Hamid berharap, dengan banyaknya yang harus ia kerjakan dan pikirkan, lambat laun ia bisa melupakan perasaannya kepada Zaenab. Namun ternyata, Hamid salah. Ia tidak pernah bisa sedikitpun untuk melupakan Zaenab.

Di Mekkah, setelah setahun berlalu, Hamid bertemu dengan Saleh, seorang teman kampungnya yang akan melaksanakan ibadah Haji dan pada saat itu, Saleh menjadi tamu di penginapan tempat Hamid bekerja. Istri Saleh, Rosnah adalah teman dekat Zaenab sejak kecil, maka dari Saleh, Hamid akhirnya bisa mengetahui kabar tentang Zaenab.

Dari penuturan Saleh, dia mengetahui bahwa Zaenab pun mencintai dirinya. Sejak kepergiannya, gadis itu sering sakit-sakitan. Karena suatu alasan, Ia juga mengetahui bahwa gadis itu tidak jadi menikah dengan pemuda pilihan mamaknya.

Setelah mendengar penuturan Saleh, Hamid merasa sedih dan sekaligus merasa gembira. Dia sedih karena Zaenab dalam keadaan menderita batin dan dia merasa gembira karena ternyata gadis itu juga mencintai dirinya. Hamid benar-benar merasa gembira dan bersyukur, karena itu artinya, cintanya kepada Zaenab tidak bertepuk sebelah tangan. Selain itu, hal yang membuat Hamid begitu merasa sangat gembira adalah Zaenab akan menjadi miliknya karena gadis itu tidak jadi menikah dengan pemuda pilihan mamaknya. Maka, Hamid pun memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya setelah ia menunaikan ibadah haji.

Sementara itu, Saleh mengirim surat kepada istrinya yang isinya mengabarkan pertemuannya dengan Hamid. Ia menceritakan bahwa Hamid masih menantikan Zaenab, dan ia pun memberitahukan bahwa Hamid akan pulang ke kampung halamannya bila mereka telah selesai menunaikan ibadah haji mereka. Rosnah memberikan surat dari Saleh kepada Zaenab. Ketika membaca surat itu, betapa gembiranya hati Zaenab. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan kekasih hatinya. Ia benar-benar merasa tidak sabar lagi menanti kedatangan kekasih hatinya, Hamid yang begitu ia cintai.

Zaenab sangat gembira. Ia merasa gembira, ia belum pernah merasakan kegembiraan seperti saat itu. Semua perasaannya itu ia ungkapkan melalui suratnya kepada Hamid. Betapa gembiranya Hamid saat ia menerima surat dari Zaenab. Semangatnya untuk segera kembali ke kampung halaman dan menemui Zaenab semakin menggebu-gebu.

Karena keinginan untuk segera kembali ke kampung halaman dan menemui Zaenab, itulah sekalipun dalam keadaan sakit, Hamid memaksakan diri untuk menunaikan ibadah haji. Dia menjalankan setiap tahap yang wajib dilaksanakan untuk kesucian dan kemurnian ibadah haji dengan penuh semangat. Dalam keadaan sakit parah, ia tetap melaksanakan wukuf. Namun sepulang melakukan wukuf di Padang Arafah, kondisi tubuhnya semakin melemah. Pada saat yang sama, Saleh mendapat kabar buruk dari istrinya bahwa Zaenab telah meninggal dunia. Ia tidak memberitahukan kepada Hamid karena keadaan pemuda itu juga begitu sangat parah. Namun, Hamid mendesaknya untuk menceritakan isi surat dari Rosnah yang baru diterima Saleh.

Hati Hamid sangat terpukul mendengar kenyataan itu. Namun karena keimanannya kuat, dia mampu menerima kenyataan pahit itu dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Keesokan harinya, dia tetap memaksakan diri untuk berangkat ke Mina.

Setelah acara di Mina selesai, keduanya berangkat menuju Masjidil Haram. Ketika mereka selesai mengelilingi Ka’bah, Hamid minta diberhentikan di Kiswah. Sambil beberapa kali menyebut asma Allah, suaranya semakin melemah dan akhirnya berhenti. Berhenti untuk selama-lamanya.

Hamid meninggal dunia di rumah Allah, di tanah suci, di hadapan Ka’bah, dibawah lindungan Ka'bah.

=================

Sebuah kisah yang sangat menyentuh. Sebuah kisah yang sukses membuat dada saya sesak menahan tangis saat membacanya. Lebay ya... Tapi begitulah kenyataannya. Melalui dialog dan narasinya, saya merasa bisa merasakan apa yang dirasakan Hamid dan Zaenab saat itu. Cuma sayang, dengan penggunaan bahasa campuran, antara bahasa Minang dan bahasa Melayu yang tidak biasa saya pergunakan jadi agak sedikit menghambat saat membaca beberapa bagiannya. Tapi juga, adanya penggunaan bahasa Minang dan Melayu itu, pada sebagian besar cerita, membuat saya bisa benar-benar merasakan dan masuk ke dalam cerita ini. Begitu deh kira-kira, hehe...

Ada banyak pesan yang dapat kita ambil yang terkandung dalam cerita yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1938 ini, antara lain yaitu segala sesuatu membutuhkan pengorbanan, sebagai manusia boleh berencana, berharap dan berusaha semaksimal mungkin, namun Allah jugalah yang menentukan semuanya.

Menurut saya, ini adalah sebuah maha karya yang sangat layak dibaca baik itu oleh kalangan remaja maupun dewasa, karena ini adalah sebuah cerita romantisme yang menitikberatkan pada kesabaran tingkat tinggi yang saya yakin, dapat membuat siapapun yang membacanya akan merasa sesak sedih menahan air mata.

You Might Also Like

0 Comments