Astronomy
KITA (MEMANG) TIDAK PERNAH MENDARAT DI BULAN? (Langkah Kecil untuk Lompatan Besar, bagian 2)
September 11, 2012
Neil Alden Armstrong telah berpulang pada Sabtu 25 Agustus 2012
setelah bergulat dengan komplikasi pasca operasi jantung koroner.
Sampai saat ini belum jelas benar apakah jenazahnya telah dimakamkan.
Keluarga memang telah menggelar seremoni pelepasan pribadi yang tertutup
bagi umum pada Jumat 31 Agustus 2012 di Camargo Club, Cincinnati, Ohio
(AS).
Di antara undangan nampak hadir sejumlah astronot segenerasi
Armstrong seperti Edwin Aldrin dan Michael Collins (rekan seperjalanan
dalam misi Apollo 11) serta para astronot Apollo lainnya seperti Bill
Anders, Dick Gordon, Jim Lovell dan Gene Cernan.
Hadir pula John Glenn,
orang AS pertama yang mengorbit Bumi sekaligus salah satu astronot Mercury Seven
(generasi astronot pendahulu program Apollo) yang masih tersisa.
Di
udara, empat jet tempur F/A-18 dari Skuadron 106 dan 34 yang
berpangkalan di Pangkalan Angkatan Laut Oceana, Virginia (AS) terbang
melintas dengan suara bergemuruh dalam formasi Missing Man, formasi
istimewa sebagai penghormatan atas kepergian Armstrong.
Namun dalam
acara yang diselenggarakan berdekatan dengan saat-saat Bulan mencapai
status purnamanya sekaligus Blue Moon (purnama kedua dalam satu bulan
kalender Masehi yang sama) itu, tidak terlihat peti jenazah Armstrong.
Empat jet tempur F/A-18 dalam formasi Missing Man guna mengenang Armstrong. Sumber : Space.com, 2012. |
NASA sendiri hendak
menyelenggarakan peringatan nasional mengenang Armstrong pada Selasa 12
September 2012 mendatang di Gereja Katedral Nasional Washington, meski
detail acaranya belum dipublikasikan. Presiden Obama telah memerintahkan
kantor-kantor pemerintah AS di segenap penjuru untuk mengerek bendera
setengah tiang pada saat tersebut.
Namun dalam seremonial itu juga dapat
dipastikan takkan ada peti jenazah. Musababnya, keluarga bakal
memakamkan jenazah manusia pertama yang mendarat dan melangkahlah kaki
di Bulan ini di laut. Namun kapan pemakaman dilaksanakan, dimana
lokasinya dan bagaimana detailnya, seperti apakah jasad Armstrong
dikremasi dahulu baru kemudian abunya ditaburkan ke laut, tidak
dipublikasikan.
Edwin Aldrin (kanan) dan Michael Collins (kiri), 2 rekan seperjalanan
Armstrong pada misi Apollo 11, di tengah-tengah seremoni mengenang Armstrong di Cincinnati, Ohio (AS). Sumber : Space.com, 2012. |
Pemakaman
di laut? Ya. Mungkin ini permintaan Armstrong sendiri semasa hidupnya,
mengingat ia adalah sosok yang pernah bergabung bersama Angkatan Laut AS
dengan menempati posisi pilot jet tempur yang membuatnya terlibat dalam
80 kali pertempuran udara selama Perang Korea.
Pemakaman di laut yang
bakal berlangsung secara tertutup sekaligus merefleksikan sikap hidupnya
selama ini yang rendah hati dan low-profile meski namanya demikian
populer di kolong langit.
Keputusan pemakaman di laut sekaligus
mengakhiri diskursus yang sempat mengapung sesaat setelah Armstrong
wafat, kala sejumlah kalangan sempat mendesak Gedung Putih agar jasad
sang astronot dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Arlington
dengan didahului upacara penghormatan berskala nasional.
Yang
jelas pemakaman Armstrong tidak membuat satu episode konspirasi
pendaratan di Bulan yang selama ini berseliweran turut terkubur.
Konspirasi ini, yang menganggap pendaratan manusia di Bulan sebagai
tipu-tipu ala AS guna memuncaki perlombaan antariksa melawan Uni Soviet
di tengah kancah Perang Dingin, mulai menyeruak pada 1974 seiring
terbitnya buku We Never Went to the Moon, America's Thirty Billion Dollar Swindle
karya Bill Kaysing.
Kaysing adalah pustakawan di Rocketdyne, perusahaan
yang menjadi salah satu kontraktor badan antariksa AS (NASA) guna
menyiapkan mesin-mesin roket Saturnus 5, namun telah mengundurkan diri
sejak 1963 atau tiga tahun sebelum roket Saturnus 5 yang pertama lepas
landas.
Roket Saturnus 5 adalah roket dengan bobot bervariasi antara
2.900 ton hingga 3.040 ton yang memiliki daya dorong amat luar biasa
sehingga mampu menempatkan 119 ton muatan ke orbit LEO (Low Earth Orbit, orbit dengan ketinggian < 1.000 km) maupun 45 ton muatan ke orbit Bulan.
Sebagai
sosok yang tidak pernah berada dalam lingkaran grup ilmuwan-insinyur
dalam program Apollo, Kaysing secara berani menyatakan peluang
keberhasilan pendaratan manusia di Bulan hanyalah 1 berbanding 6.000
alias 0,017 %. Meski angka ini tidak ketahuan berasal darimana, Kaysing
sukses memantik keraguan publik terhadap pendaratan di Bulan.
Sehingga
sampai 2001 silam tercatat beragam survei di publik AS menempatkan
proporsi responden yang tak percaya manusia pernah mendarat di Bulan
dalam rentang angka bervariasi, yakni mulai 6 hingga 20 %. Angka ini
membengkak jadi 28 % pada survei sejenis di Rusia.
Keraguan
soal pendaratan manusia di Bulan umumnya berkutat pada faktor
fotografis, lingkungan dan mekanis. Dari sisi fotografis, kebohongan
dilekatkan pada foto bendera yang nampak "berkibar", juga pada tidak
munculnya bintang-bintang di langit Bulan padahal disana tidak ada
lapisan udara.
Selain itu juga ditekankan pada tidak pernah
terdeteksinya sisa perangkat keras yang ditinggalkan para astronot di
Bulan. Dari sisi lingkungan, kebohongan dinisbatkan pada eksistensi
sabuk radiasi van-Allen di Bumi, yang dianggap sebagai area mematikan
bagi makhluk hidup seiring beragam radiasi yang bisa dijumpai di sini.
Sedangkan dari sisi mekanis, salah satu keraguan itu dilekatkan pada
tiadanya jejak "kawah buatan" (produk semburan gasbuang roket pendarat)
di titik pendaratan, juga pada semburan gasbuang di Bulan yang
transparan.
Atas dasar faktor-faktor tersebut, dapatkah dipastikan bahwa kita manusia memang tidak pernah mendarat di Bulan?
Data Non Fotografis
Sebuah
misi antariksa entah ditujukan kemana pun, bukanlah sebuah aktivitas
berbau narsis layaknya aksi keseharian kita dalam era pasca-modern yang
dengan cepat tersebar ke ranah publik melalui unggahan (upload)
foto-foto hasil jepretan kita ke media sosial lewat jaringan internet.
Misi tersebut, entah berawak maupun tidak, selalu membawa sejumlah
instrumen.
Kamera adalah satu instrumen yang nyaris wajib untuk dibawa,
meski tidak semua misi antariksa mengharuskannya.
Namun selain kamera,
masih banyak lagi instrumen ilmiah yang diangkut sebuah wahana antariksa
yang mengemban suatu misi antariksa. Tiap instrumen menghasilkan data
non-fotografis yang berbeda-beda. Setiap data yang telah diolah memang
menyajikan impresi yang jauh berbeda dibandingkan selembar foto, karena
data-data tersebut umumnya menghasilkan beragam peta dengan resolusi
jauh lebih rendah.
Namun setiap peta ini dapat menyajikan informasi
penting yang seringkali tak tertangkap oleh kamera maupun pandangan mata
manusia. Dengan demikian baik foto maupun data non fotografis mempunyai
kedudukan yang serupa dan saling melengkapi.
Sehingga membaca semuanya
membuat kita dapat memahami target suatu misi antariksa secara
komprehensif.
Kedudukan foto dan data-data non fotografis
dalam misi antariksa dapat disandingkan dengan selembar foto dan
data-data spesifik manusia dalam ranah hukum dan medis.
Bagi kita yang
awam, selembar foto adalah alat untuk mengenali satu sosok tak dikenal
karena bisa langsung dicocokkan. Namun di tangan mereka yang ahli,
data-data non fotografis seperti data gigi, sidik jari, sidik iris
(mata), data rekam medis maupun data genetis (DNA) dapat menyajikan
identifikasi jauh lebih akurat dan lebih meyakinkan ketimbang pencocokan
bukti-bukti fisik berdasar selembar foto seperti yang kita lakukan.
Misi
antariksa berawak ke Bulan pun tak berbeda. Tak hanya kamera berbagai
rupa, namun beragam instrumen penyaji data non-fotografis pun dibawa
dalam misi pendaratan Bulan yang berlangsung enam kali berturut-turut
dengan selang waktu rata-rata antar misi berurutan setengah tahun.
Apollo 11 mengawali misi pada Juli 1969. Berturut-turut kemudian
berlangsung misi Apollo 12, Apollo 14, Apollo 15 dan Apollo 16. Misi
terakhir adalah Apollo 17 pada Desember 1972. Masing-masing misi
mendaratkan 2 astronot, sehingga secara keseluruhan ada 12 orang yang
pernah mendarat dan berjalan-jalan di Bulan.
Selepas Apollo 12,
sebenarnya terdapat misi Apollo 13 (April 1970) namun batal mendarat
karena gangguan teknis parah yang memaksanya harus secepatnya kembali ke
Bumi.
Instrumen ilmiah dalam misi pendaratan di Bulan
secara umum diklasifikasikan ke dalam kelompok instrumen penganalisis
tanah, interior (bagian dalam), atmosfer dan antariksa dekat Bulan.
Data-data yang diproduksinya dianalisis dengan pendekatan geofisika dan
meteorologi. Dari kelompok-kelompok instrumen tersebut, banyak yang
peletakan dan pengoperasiannya harus dilakukan/diawali dengan campur
tangan manusia. Berikut beberapa diantaranya.
Data : Interior Bulan
Interior
Bulan diselidiki bermacam instrumen, salah satunya seismometer alias
pencatat gelombang kegempaan (seismik) Bulan, yang didaratkan dalam misi
Apollo 11 hingga 16 dan secara mengagumkan mentransmisikan data ke Bumi
secara terus-menerus hingga September 1977 (kecuali seismometer Apollo
11 yang hanya bertahan 3 minggu).
Lamanya pencatatan ditunjang oleh
ketersediaan sumber listrik stabil berumur panjang, yakni generator
radioaktif termolistrik. Bulan ternyata juga memiliki gempa, yang
disebut gempa bulan, namun karakteristiknya jauh berbeda dibanding gempa
bumi. Hampir semua gempa bulan adalah gempa dalam, bersumber dari
kedalaman 800-1.000 km.
Analisis gelombang seismik memperlihatkan
kawasan sumber gempa terletak di dekat zona perbatasan lapisan selubung (mantle)
dan inti Bulan. Analisis yang sama juga menunjukkan kerak Bulan cukup
tebal, yakni 60-70 km (3 kali ketebalan kerak bumi).
Perbandingan
kekerapan gempa terhadap waktu memperlihatkan gempa-gempa bulan ini
dipengaruhi gaya pasang-surut gravitasi (gaya tidal) Bumi. Di sisi lain
jumlah gempa bulan yang tergolong gempa dangkal amat sedikit, menandakan
stabilnya lapisan kerak dan selubung Bulan serta tiadanya aktivitas
vulkanisme Bulan terkini. Stabilnya interior Bulan menyebabkan jumlah
energi kegempaan tahunan Bulan hanya 1/10 juta energi seismik tahunan
Bumi.
Seismometer dan magnetometer sedang dipasang di permukaan Bulan dalam misi Apollo 11. Sumber : NASA, 1969. |
Instrumen penyelidik lainnya adalah
cermin pemantul laser (retroreflektor). Ini cermin berbentuk persegi
yang dirancang sedemikian rupa sehingga jika tersinari seberkas cahaya
(dari arah manapun, asal bukan dari samping atau belakang), maka cahaya
itu akan dipantulkan kembali ke arah sumber cahayanya.
Cermin
retroreflektor sebenarnya ditujukan guna mengukur jarak Bumi-Bulan
dengan ketelitian sangat tinggi sekaligus dinamikanya dari waktu ke
waktu dengan cara menembakkan seberkas sinar laser dari suatu
observatorium di Bumi untuk kemudian sinar pantulnya ditangkap kembali
oleh teleskop di observatorium tersebut.
Instrumen ini membuat kita
mengetahui jarak Bumi-Bulan dengan akurasi hingga 3 cm, sekaligus
mengetahui bahwa Bulan terus-menerus menjauhi Bumi dengan pertambahan
jarak per tahun sebesar 3,8 cm.
Namun dari aspek geofisika, pengolahan
data cermin retroreflektor juga memperlihatkan bahwa bagian Bulan pada
kedalaman sekitar 1.000 km berbentuk cair, konsisten dengan data yang
dihasilkan magnetometer. Ia juga memperlihatkan, inti Bulan memiliki
ukuran sekitar 350 km atau hampir sama dengan kesimpulan berdasarkan
analisis gelombang gempa bulan.
Contoh rekaman seismogram gempa bulan (atas) dan perbandingannya dengan
rekaman gempa bumi (bawah). Nampak perbedaan karakteristik gelombang dan durasi, meski kekuatan gempanya nyaris sama. Sumber : NASA, 1970 dan USGS, 2012 |
Instrumen penyelidik lainnya adalah pengukur aliran panas permukaan Bulan. Aliran panas permukaan (heatflow)
suatu benda langit penting diketahui guna memastikan benda langit
tersebut masih aktif ataupun tidak secara tektonik dan vulkanik.
Semakin
besar nilai aliran panas permukaannya, semakin aktif benda langit itu.
Instrumen ini berupa termometer khusus dalam sejumlah titik di sebuah
tabung. Tabung tersebut dimasukkan ke dalam tanah Bulan (hasil
pengeboran) hingga sedalam 2,3 m. Seperti halnya pengukuran gempa dan
medan magnet bulan, pengukuran panas permukaan Bulan juga berlangsung
dalam jangka panjang. Dari instrumen ini diketahui aliran panas
permukaan Bulan rata-rata sebesar 21 miliwatt per meter persegi, atau
hanya 18-24 % nilai aliran panas permukaan Bumi.
Hasil ini menegaskan
Bulan secara umum tidak lagi aktif secara tektonik maupun vulkanik,
konsisten dengan kesimpulan berdasarkan data gempa bulan.
Data : Tanah Bulan
Selain
interior, permukaan (tanah) Bulan hingga kedalaman tertentu juga
diselidiki menggunakan beragam instrumen. Misalnya instrumen penyelidik
mekanika tanah Bulan, yang diturunkan dalam misi Apollo 11 hingga 17.
Instrumen ini berbentuk bor tanah yang bisa bekerja manual (dengan
tenaga manusia) maupun mesin bertenaga batere. Secara manual pengeboran
hanya bisa berlangsung hingga sedalam 20 cm saja.
Namun dengan
menggunakan mesin, pengeboran bisa mencapai kedalaman 3 m. Instrumen ini
memperlihatkan permukaan Bulan diliputi debu amat halus (ukuran
rata-rata kurang dari 0,1 mm) yang berbeda dengan debu Bumi, salah
satunya karena debu Bulan bermuatan listrik statis. Sehingga debu Bulan
dapat melekat kuat pada baju astronot dan peralatan lainnya. Debu Bulan
juga menyerap panas Matahari, sehingga membuat segala yang ditempelinya
menjadi demikian panas.
Memasang pengukur aliran panas permukaan Bulan dalam misi Apollo 15.
Sumber : NASA, 1971. |
Sifat tanah Bulan juga dicoba lebih dipahami
dengan instrumen pengukur sifat listrik permukaan Bulan, yang didaratkan
misi Apollo 17. Instrumen ini berupa transmitter (pemancar) yang diletakkan dalam jarak tertentu dan receiver
(penerima) yang terpasang di mobil Bulan (Lunar Rover).
Pengukuran
dilaksanakan pada berbagai titik yang berbeda, dengan memindah-mindahkan
baik posisi transmitter maupun mobil Bulan secara konsisten.
Hasilnya,
hingga sedalam sekitar 2 km, batuan basalt Bulan dan batuan lain
dibawahnya bersifat amat kering. Ini konsisten dengan hasil analisis 382
kg batu-batu Bulan yang dibawa pulang ke Bumi, dimana semuanya tidak
mengandung air baik sebagai tetes-tetes cairan maupun senyawa hidrat.
Mempersiapkan peledakan dinamit di Bulan, misi Apollo 17.
Sumber : NASA, 1972. |
Data : Atmosfer Bulan
Misi
Apollo 12, 14 dan 15 mendaratkan instrumen tabung katoda dingin guna
menyelidiki eksistensi atmosfer Bulan. Seperti seismometer, magnetometer
dan termometer pengukur aliran panas permukaan Bulan, tabung katoda
dingin juga bekerja dalam jangka panjang dan berhasil mengirim data
secara kontinu hingga 1975.
Hasilnya cukup mengejutkan, karena Bulan
sebenarnya juga memiliki atmosfer. Namun udara Bulan amat sangat tipis
dan bergantung pada siang atau malam hari. Pada malam hari, tiap
sentimeter kubik permukaan Bulan mengandung 200.000 molekul udara. Angka
ini hanya 1/100 trilyun kepadatan molekul udara di permukaan Bumi.
Pada
siang hari udara Bulan tak terdeteksi, kalah oleh gempuran
partikel-partikel yang dipancarkan Matahari (angin Matahari).
Angin
Matahari juga menjadi subyek penyelidikan atmosfer Bulan. Misi Apollo
11 hingga 16 mendaratkan lembaran Alumunium yang kemudian ditegakkan
menghadap ke Matahari. Pada setiap akhir misi, lembaran Alumunium ini
dibawa kembali ke Bumi untuk dianalisis.
Dari sini diketahui bahwa 95 %
materi angin Matahari berupa proton dan elektron, sementara sisanya
berupa ion-ion dari isotop Helium-3, Helium-4, Neon-20, Neon-21, Neon-22
dan Argon-36. Jumlah proton Matahari yang diterima Bulan amat
bergantung pada posisi Bulan.
Dari 27 hari yang dibutuhkannya guna
mengelilingi Bumi, 18 hari diantaranya menempatkan Bulan di luar
magnetosfer Bumi. Pada saat itu proton Matahari yang diterima tiap
sentimeter kubik permukaan Bulan mencapai 10-20 proton (dengan kecepatan
450-650 m/detik). Sementara dalam 5 hari kemudian Bulan berada dalam
magnetosfer Bumi sehingga tak satupun proton Matahari terdeteksi. Dan
dalam 4 hari sisanya, Bulan berada di batas magnetosfer Bumi sehingga
proton Matahari mulai terdeteksi namun dengan kecepatan jauh lebih
rendah.
Pendaratan itu Bukan Dogma
Instrumen-instrumen
di atas hanyalah sebagian dari banyaknya instrumen ilmiah yang dibawa
dalam sejumlah misi pendaratan manusia di Bulan. Instrumen-instrumen dan
metode yang telah dipaparkan di atas hanya bisa dioperasikan maupun
diawali pengoperasiannya lewat tangan manusia.
Teknologi robotika di era
1960-an, bahkan sebagian hingga masa kini, belum mampu mengoperasikan
instrumen-instrumen tersebut secara otomatis. Inilah garis batas tebal
yang memisahkan kisah sukses kita dalam eksplorasi Bulan dengan Mars.
Pada Mars, meski eksplorasi telah berlangsung sejak 1970-an hingga
kini, ditandai dengan pendaratan robot penjelajah canggih Curiosity
(misi Mars Science Laboratory) sebagai misi terkini, namun tiadanya
pendaratan manusia menyebabkan pencapaian kita di Mars tidaklah sebaik
Bulan. Misalnya saja, sampai detik ini kita belum pernah berhasil
mengebor tanah Mars hingga kedalaman lebih dari 0,5 m.
Sampai detik ini
juga kita belum pernah berhasil menempatkan seismometer guna mendeteksi
gempa-gempa mars ataupun mengukur aliran panas permukaannya guna
memastikan status tektonik dan vulkaniknya. Dan seperti apa persisnya
interior Mars pun, hingga kini kita belum bisa memastikannya, kecuali
hanya menerka-nerka lewat data-data yang disajikan satelit. Bahkan guna
memastikan apakah tanah Mars benar-benar mengandung air ataupun tidak,
sampai kini kita hanya bisa bermain tebak-tebakan.
Data-data
non fotografis Bulan demikian berlimpah sehingga menjadikan data
fotografis sebagai sekeping kecil. Sebagian besar data tersebut juga
dapat diakses oleh siapapun ilmuwan di kolong langit.
Data-data yang
bejibun membuat pengetahuan kita akan Bulan yang diperoleh dalam misi
pendaratan manusia di Bulan menjadi jauh berlipat ganda dibanding yang
pernah kita ketahui sebelumnya terhitung sejak era peradaban manusia
bersemi.
Di sisi lain, dengan data non fotografis demikian berlimpah dan
hingga kini tak satupun kalangan ilmuwan terkait yang mempersoalkan
validitasnya, maka cukup menggelikan bila sejumlah kalangan meragukan
terjadinya pendaratan di Bulan hanya berdasarkan pendekatan fotografis,
lingkungan maupun mekanis.
Apalagi hal-hal yang diklaim sebagai bukti
fotografis, lingkungan dan mekanis akan konspirasi pendaratan manusia di
Bulan ternyata semuanya dapat dijelaskan lewat disiplin-disiplin ilmu
terkait. Misalnya, tentang foto. Dari sisi ilmu fotografi, siapapun yang
memotret langit pada siang hari takkan bisa menjumpai adanya
bintang-bintang dalam fotonya akibat terangnya langit oleh sinar
Matahari.
Mengabadikan bintang-bintang hanya bisa dilakukan di kala
malam (saat bagian langit terlindungi dari terangnya sinar Matahari) dan
itupun harus dengan waktu paparan (exposure time) lama. Rumus ini berlaku di mana saja, tak peduli di Bumi maupun di antariksa.
Membandingkan foto langit dalam misi Apollo 16 (atas) dengan foto langit
di latar belakang stasiun antariksa Mir saat dikunjungi misi Soyuz-TM2
(bawah). Perhatiakn bahwa keduanya juga tak menampilkan bintang-bintang di langit, karena kedua foto sama-sama diambil pada exposure time kecil meski menggunakan kamera berbeda. Sumber : NASA, 1972 & Glavkosmos, 1987. |
Meski
lebih berat sisi politisnya, program pendaratan manusia di Bulan juga
memiliki sisi ilmiah, yang mewujud pada penempatan beragam instrumen
ilmiah baik yang ditempatkan di permukaan Bulan maupun yang dibawa
terbang mengelilingi Bulan (dalam modul komando), serta baik instrumen
yang harus dioperasikan/diawali operasinya dengan tangan manusia maupun
yang otomatis.
Sebagai aktivitas yang mengemban misi ilmiah, maka
pendaratan manusia di Bulan bukanlah dogma, bukan soal urusan
percaya-tak percaya. Dalam perspektif ilmiah, seluruh data yang
diperoleh dari program pendaratan manusia di Bulan (baik data fotografis
maupun non fotografis) tetap dipandang secara kritis guna menguji
validitas (kesahihan)-nya lewat beragam cara. Dan hingga kini tak
satupun ilmuwan terkait (dalam disiplin ilmu astronomi, geologi, fisika
dan biologi maupun ilmu turunannya seperti astrofisika, astrogeologi,
geofisika, astrobiologi dan sebagainya) yang meragukan kesahihan data
tersebut.
Terimakasih
sebesar-besarnya kepada salah satu guru saya di dunia maya, (yuph,
karena kenalnya baru di Facebook aja, hehee...) bapak Ma'rufin Sudibyo
untuk izin share tulisan ini, yang menurutku... beliau selalu berbagi pengetahuan dan
memberi penjelasan-penjelasan logis dan sederhana untuk sesuatu hal yang
kadang menurutku sulit dipahami atau disalah persepsikan oleh kebanyakan orang,
Oh iyaa, tentang Neil Armstrong ini, baca juga :
0 Comments