NEIL ARMSTRONG, SETELAH BERKALI-KALI BERSINGGUNGAN DENGAN ZONA KEMATIAN (Langkah Kecil untuk Lompatan Besar, bagian 1)

Neil Alden Armstrong Siapa yang tak pernah mendengar namanya?  Barangkali hampir semua orang di kolong langit ini menge...

Neil Alden Armstrong

Siapa yang tak pernah mendengar namanya? 

Barangkali hampir semua orang di kolong langit ini mengenal namanya seiring berlangsungnya era perlombaan antariksa yang dipuncaki dengan keberhasilan pendaratan manusia di Bulan. Pria bertampang kalem dengan pembawaan tenang dan kalkulatif ini adalah manusia pertama yang melangkahkan kakinya di Bulan. Peristiwa bersejarah yang berlangsung pada 21 Juli 1969 pukul 09:56 WIB menempatkan Armstrong di panggung kehormatan yang sejajar diantara para penjelajah pendahulu seperti ibn Batutah, Columbus, Magelhaens hingga Wright bersaudara. Peristiwa yang sama juga membawa dunia pada sebuah era baru, dimana kita tak lagi sekedar melihat mengamati Bulan dari kejauhan dan tak lagi hanya berjalan di sebentuk planet berukuran sedang bernama Bumi saja. 

Namanya demikian populer. Pun di Indonesia, negeri yang tak pernah dikunjungi Armstrong dalam rangkaian tur dunianya seiring transisi rezim Orde Lama menuju rezim Orde Baru yang demikian brutal dengan tumbal sedikitnya setengah juta nyawa manusia. Namun di negeri ini pula dan secara umum demikian halnya di kawasan Asia Tenggara, kisah Armstrong berubah warna demikian rupa sehingga barangkali bakal membuat Neil Armstrong sendiri tercengang jika mendengarnya. Mulai dari kisah Armstrong mendengan azan di Bulan, kisah Armstrong menjadi Muslim, kisah Armstrong melintas di atas Makkah bersama wahana antariksanya dan menjumpai medan gravitasi nol hingga kisah Armstrong menemukan telur-telur ajaib di Bulan. Di sini juga kisah kebohongan pendaratan di Bulan, yang dianggap hanyalah bagian dari politik tipu-tipu AS di masa Perang Dingin (dengan salah satu cabang perangnya adalah perlombaan antariksa), tumbuh demikian suburnya dan dipercaya banyak orang. 

Dengan segala popularitasnya dalam beragam perspektif itulah maka tak heran jika kita demikian terkejut kala manusia dengan nama besar ini berpulang pada Sabtu 25 Agustus 2012 waktu AS di RS Columbus, Ohio (AS) setelah bergulat melawan komplikasi pasca operasi jantung koroner pada 7 Agustus 2012 lalu. Tak hanya NASA dan lembaga-lembaga keantariksaan lainnya di berbagai penjuru, para pilot dan astronot di berbagai tempat, hingga para ilmuwan dan insinyur pada umumnya, namun publik secara umum pun mengekspresikan rasa duka dan kehilangannya dengan berbagai cara. Presiden Obama bahkan menyatakan rasa dukanya dengan menyebut Armstrong sebagai "...pahlawan besar AS, bukan hanya di masa kini, namun juga di sepanjang masa."

Neil Alden Armstrong dengan wajah lelah,
usai acara jalan-jalan di Bulan yang bersejarah.
Sumber : NASA, 1969.
Armstrong berpulang dalam usia 82 tahun 20 hari. Namun, sebagai pilot pesawat tempur yang kemudian menjadi pilot uji dan akhirnya astronot, Armstrong telah berkali-kali bersinggungan dengan zona kematian yang nyaris merenggut nyawanya. Sebagai penerbang Angkatan Laut AS yang tergabung dalam Skuadron Tempur-51, Armstrong muda turut berkiprah dalam Perang Korea mulai 29 Agustus 1951 hingga lima bulan kemudian. Hanya lima hari setibanya di Korea, pesawat pengintai yang dipilotinya tertembak musuh hingga sulit dikontrol, yang membuatnya harus mengaktifkan kursi penyelamat dan meninggalkan pesawat rusak itu saat melayang di dekat Pohang. Pasca Perang Korea, dimana Armstrong memilih pensiun dini dari Angkatan Laut dan bergabung dengan NASA sebagai pilot uji, berkali-kali pula Armstrong nyaris mati tatkala menguji coba penerbangan pesawat-pesawat eksperimental yang didesain sanggup melejit pada kecepatan supersonik hingga ketinggian di atas 50 km. 

Namun persinggungan dramatisnya dengan zona kematian terjadi setelah Armstrong bergabung dengan korps astronot AS sejak 13 September 1962. Sebagai astronot di era penerbangan antariksa demikian muda ibarat bayi baru belajar merangkak, Armstrong dan rekan-rekannya harus dihadapkan pada situasi mencekam: menguji berbagai wahana antariksa terbaru (yang belum pernah diterbangkan sebelumnya) dan menguji coba berbagai teknik penerbangan antariksa terbaru seiring ambisi AS untuk mendaratkan manusia pertama di Bulan sebelum dekade 1960-an berakhir. Semuanya dilakukan dalam lingkungan orbit Bumi dimana udara nyaris tidak ada. Setiap manusia yang diterbangkan ke area tersebut amat bergantung kepada wahana antariksa yang ditumpanginya dan setiap cacat desain akan membuat mereka berhadapan dengan resiko permanen baik berupa terpental ke ketinggian antariksa dan menghilang maupun terjatuh ke Bumi tanpa kontrol.

Pada 16 Maret 1966, Armstrong terbang dengan wahana antariksa Gemini 8 bersama David Scott, sebagai bagian dari ujicoba pendekatan (rendezvous) dan penggandengan (docking) dengan wahana antarika tak-berawak Agena yang telah diterbangkan sebelumnya. Ujicoba ini penting artinya guna memperoleh prosedur dan pengalaman dalam pendekatan dan penggabungan antar wahana antariksa, mengingat pendaratan manusia di Bulan menggunakan wahana antariksa khusus yang berbeda dengan wahana antariksa untuk peluncuran dan kembali ke Bumi. Pendekatan dan penggandengan berlangsung tanpa masalah, namun tatkala Gemini 8 melepaskan diri dari Agena, mendadak Gemini 8 berpilin dengan cepat hingga sebesar 1 putaran per detik, yang cukup berbahaya karena astronot bisa kehilangan orientasi. Krisis tak teratasi meski Armstrong telah menyalakan mesin roket pengatur ketinggian (OAMS) sebagaimana yang disarankan kala menjalani training. Problem teratasi setelah Armstrong berimprovisasi dengan mematikan mesin roket OAMS dan sebaliknya menyalakan mesin roket pengatur pendaratan (RCS), sehingga Gemini-8 berhenti berpilin. Mengingat situasi tersebut, Armstrong dan Scott memutuskan untuk segera mendarat. Di darat, mereka dikecam oleh rekan-rekan sesama astronot karena dianggap mengabaikan prosedur sampai akhirnya penyelidikan NASA menyimpulkan mereka tak bersalah. Armstrong dan Scott bereaksi demikian karena masalah ini belum pernah disimulasikan sebelumnya. Penyelidikan juga menyimpulkan masalah itu muncul karena cacat fisik: ada kabel yang terkelupas sehingga terjadi hubungan pendek.

Neil Armstrong (kiri) dan David Scott (kanan),
keduanya masih dalam kabin Gemini 8 pasca pendaratan darurat
dan menanti helikopter pengangkut.
Sumber : NASA, 1966.
Persinggungan lainnya terjadi kala Armstrong ditugasi mengujicoba kendaraan Lunar Landing Research Vehicle (LLRV) atau lebih populer dengan julukan Ranjang Terbang. LLRV adalah sejenis pesawat yang bisa terbang dan mendarat secara tegak lurus menyerupai helikopter, namun ditenagai oleh mesin jet khusus. LLRV dirancang untuk menyimulasikan proses pendaratan di permukaan Bulan yang gravitasinya hanya seperenam gravitasi Bumi. Pada 6 Mei 1968, setelah berhasil melambungkan LLRV untuk kesekian kalinya hingga mencapai ketinggian 30 meter, Armstrong mencoba mendaratkannya kembali. Tanpa diduga, LLRV mendadak mulai miring ke satu sisi. Armstrong pun segera menekan tombol pelontar kursi penyelamatnya tepat pada waktunya dan berhasil mendarat dengan selamat dengan satu luka ringan pada lidahnya karena tergigit. Analisis memperlihatkan, andaikata Armstrong terlambat 0,5 detik saja menekan tombolnya, parasutnya tak bakal mengembang sempurna dan ia bakal mencium Bumi dengan keras. Meski nyaris terbunuh, Armstrong menyimpulkan LLRV cukup bermanfaat bagi para astronot guna mengenali prosedur pendaratan di Bulan. 

Persinggungannya dengan zona kematian yang paling populer tentulah dalam misi antariksa Apollo 11 yang melambungkan namanya. Setelah mengangkasa sejak 16 Juli 1969, Armstrong dan Edwin Aldrin yang menjadi tandemnya mengaktifkan modul bulan  Eagle dan memisahkannya dari modul komando Columbia. Keterbatasan teknologi saat itu membuat Armstrong dan Aldrin menyadari Eagle bakal meleset hingga sejauh beberapa kilometer dari target pendaratan. Saat kian mendekati permukaan Bulan, mereka mendapati lokasi pendaratan (yang semula nampak halus mulus) ternyata dipenuhi bongkahan-bongkahan besar yang bisa merusak modul Eagle. Pada ketinggian 1,8 km, segera mereka mengubah proses pendaratan dari otomatis menjadi semi-otomatis. Sehingga mereka bisa menggeser modul Eagle ke timur menggunakan bahan bakar pendaratan, meski jumlahnya terbatas. Jika bahan bakar pendaratan habis, Armstrong dan Aldrin tak punya pilihan lain kecuali menekan tombol untuk membawa mereka mengangkasa kembali ke orbit modul komando Columbia. Hingga 60 detik sebelum bahan bakar pendaratan habis, tempat yang bagus belum ditemukan. Stasiun pengendali misi Houston langsung berdebar dan senyap tatkala jumlah bahan bakar terus menurun hingga tinggal 30 detik, sampai akhirnya Armstrong menemukan tempat yang cocok. Di tengah ketegangan itu, dimana denyut jantung Armstrong meroket hingga 165 kali per menit sementara pengendali misi Houston telah lama menahan napas, modul Eagle pun mendarat dengan selamat dengan sisa bahan bakar pendaratan hanya 5,6 %. Saat itulah kata-kata bersejarah itu terucap: "Houston, Tranquility Base here. The Eagle has Landed." 

Lunar Landing Research Vehicle (LLRV) alias si Ranjang Terbang,
pesawat untuk menyimulasikan pendaratan di Bulan.
Sumber : NASA, 1968.
Masalah berikutnya muncul setelah usainya acara jalan-jalan di Bulan dalam rangka memasang bendera AS, memasang seismometer (pencatat gempa Bulan), memasang cermin retroreflektor (guna mengukur jarak Bumi-Bulan secara sangat teliti menggunakan sinar laser dan teleskop khusus). Kala berada di dalam kabin modul Eagle, tanpa diduga Aldrin tersandung hingga membentur dinding dan tanpa sengaja merusak tombol guna menyalakan mesin roket agar mereka bisa mengangkasa kembali dan bergabung dengan modul komando Columbia. Cemas pun menyergap pengendali misi Houston. Betapa tidak, dengan jarak Bumi ke Bulan yang demikian jauh, mereka tidak punya rencana cadangan untuk masalah seperti ini. Armstrong dan Aldrin pun dikhawatirkan bakal terjebak di permukaan Bulan hingga tewas tanpa bisa terbang kembali untuk pulang. Namun lagi-lagi masalah ini terpecahkan lewat improvisasi Armstrong. Memanfaatkan ujung logam pada pena khusus yang dibawanya, tombol yang rusak itu berhasil diaktifkan. Roket pun menyala dan kembali kelegaan membanjiri pengendali misi di Houston. Sejarah baru pun tercatat pada 24 Juli 1969, atau 8 hari setelah meluncur ke langit, saat Armstrong, Aldrin dan Michael Collins (pilot modul komando Columbia, yang tidak ikut mendarat di Bulan) nyemplung dengan selamat di Samudera Pasifik sejauh 380 km di sebelah selatan pulau karang atol Johnston, sebelah timur laut Papua Nugini. 

Kini, tepat 43 tahun 35 hari setelah langkah kakinya yang bersejarah di lautan pasir Transquilitatis di Bulan sembari mengucapkan kata-kata legendarisnya:"That's one small step for a man, one giant leap for mankind," Armstrong akhirnya benar-benar memasuki zona kematian. Ia memang telah tiada. Namun namanya bakal abadi terpatri sepanjang masa, sebagai sosok pembuka era baru dalam peradaban manusia dan melangkahkan kaki di bagian lain tata surya kita.



Terimakasih sebesar-besarnya kepada salah satu guru saya di dunia maya, (yuph, karena kenalnya baru di Facebook aja, hehee...) bapak Ma'rufin Sudibyo untuk izin share tulisan ini, yang menurutku... beliau selalu berbagi pengetahuan dan memberi penjelasan-penjelasan logis dan sederhana untuk sesuatu hal yang kadang menurutku sulit dipahami atau disalah persepsikan oleh kebanyakan orang,


You Might Also Like

0 Comments