Astronomy
NEIL ARMSTRONG, SETELAH BERKALI-KALI BERSINGGUNGAN DENGAN ZONA KEMATIAN (Langkah Kecil untuk Lompatan Besar, bagian 1)
September 11, 2012
Neil Alden
Armstrong
Siapa yang tak pernah mendengar namanya?
Barangkali hampir
semua orang di kolong langit ini mengenal namanya seiring berlangsungnya
era perlombaan antariksa yang dipuncaki dengan keberhasilan pendaratan
manusia di Bulan. Pria bertampang kalem dengan pembawaan tenang dan
kalkulatif ini adalah manusia pertama yang melangkahkan kakinya di
Bulan. Peristiwa bersejarah yang berlangsung pada 21 Juli 1969 pukul
09:56 WIB menempatkan Armstrong di panggung kehormatan yang sejajar
diantara para penjelajah pendahulu seperti ibn Batutah, Columbus,
Magelhaens hingga Wright bersaudara. Peristiwa yang sama juga membawa
dunia pada sebuah era baru, dimana kita tak lagi sekedar melihat
mengamati Bulan dari kejauhan dan tak lagi hanya berjalan di sebentuk
planet berukuran sedang bernama Bumi saja.
Namanya
demikian populer. Pun di Indonesia, negeri yang tak pernah dikunjungi
Armstrong dalam rangkaian tur dunianya seiring transisi rezim Orde Lama
menuju rezim Orde Baru yang demikian brutal dengan tumbal sedikitnya
setengah juta nyawa manusia. Namun di negeri ini pula dan secara umum
demikian halnya di kawasan Asia Tenggara, kisah Armstrong berubah warna
demikian rupa sehingga barangkali bakal membuat Neil Armstrong sendiri
tercengang jika mendengarnya. Mulai dari kisah Armstrong mendengan azan
di Bulan, kisah Armstrong menjadi Muslim, kisah Armstrong melintas di
atas Makkah bersama wahana antariksanya dan menjumpai medan gravitasi
nol hingga kisah Armstrong menemukan telur-telur ajaib di Bulan. Di sini
juga kisah kebohongan pendaratan di Bulan, yang dianggap hanyalah
bagian dari politik tipu-tipu AS di masa Perang Dingin (dengan salah
satu cabang perangnya adalah perlombaan antariksa), tumbuh demikian
suburnya dan dipercaya banyak orang.
Dengan segala
popularitasnya dalam beragam perspektif itulah maka tak heran jika kita
demikian terkejut kala manusia dengan nama besar ini berpulang pada
Sabtu 25 Agustus 2012 waktu AS di RS Columbus, Ohio (AS) setelah
bergulat melawan komplikasi pasca operasi jantung koroner pada 7 Agustus
2012 lalu. Tak hanya NASA dan lembaga-lembaga keantariksaan lainnya di
berbagai penjuru, para pilot dan astronot di berbagai tempat, hingga
para ilmuwan dan insinyur pada umumnya, namun publik secara umum pun
mengekspresikan rasa duka dan kehilangannya dengan berbagai cara.
Presiden Obama bahkan menyatakan rasa dukanya dengan menyebut Armstrong
sebagai "...pahlawan besar AS, bukan hanya di masa kini, namun juga di
sepanjang masa."
Neil Alden Armstrong dengan wajah lelah, usai acara jalan-jalan di Bulan yang bersejarah. Sumber : NASA, 1969. |
Namun persinggungan
dramatisnya dengan zona kematian terjadi setelah Armstrong bergabung
dengan korps astronot AS sejak 13 September 1962. Sebagai astronot di
era penerbangan antariksa demikian muda ibarat bayi baru belajar
merangkak, Armstrong dan rekan-rekannya harus dihadapkan pada situasi
mencekam: menguji berbagai wahana antariksa terbaru (yang belum pernah
diterbangkan sebelumnya) dan menguji coba berbagai teknik penerbangan
antariksa terbaru seiring ambisi AS untuk mendaratkan manusia pertama di
Bulan sebelum dekade 1960-an berakhir. Semuanya dilakukan dalam
lingkungan orbit Bumi dimana udara nyaris tidak ada. Setiap manusia yang
diterbangkan ke area tersebut amat bergantung kepada wahana antariksa
yang ditumpanginya dan setiap cacat desain akan membuat mereka
berhadapan dengan resiko permanen baik berupa terpental ke ketinggian
antariksa dan menghilang maupun terjatuh ke Bumi tanpa kontrol.
Pada
16 Maret 1966, Armstrong terbang dengan wahana antariksa Gemini 8
bersama David Scott, sebagai bagian dari ujicoba pendekatan (rendezvous) dan penggandengan (docking)
dengan wahana antarika tak-berawak Agena yang telah diterbangkan
sebelumnya. Ujicoba ini penting artinya guna memperoleh prosedur dan
pengalaman dalam pendekatan dan penggabungan antar wahana antariksa,
mengingat pendaratan manusia di Bulan menggunakan wahana antariksa
khusus yang berbeda dengan wahana antariksa untuk peluncuran dan kembali
ke Bumi. Pendekatan dan penggandengan berlangsung tanpa masalah, namun
tatkala Gemini 8 melepaskan diri dari Agena, mendadak Gemini 8 berpilin
dengan cepat hingga sebesar 1 putaran per detik, yang cukup berbahaya
karena astronot bisa kehilangan orientasi. Krisis tak teratasi meski
Armstrong telah menyalakan mesin roket pengatur ketinggian (OAMS)
sebagaimana yang disarankan kala menjalani training. Problem teratasi
setelah Armstrong berimprovisasi dengan mematikan mesin roket OAMS dan
sebaliknya menyalakan mesin roket pengatur pendaratan (RCS), sehingga
Gemini-8 berhenti berpilin. Mengingat situasi tersebut, Armstrong dan
Scott memutuskan untuk segera mendarat. Di darat, mereka dikecam oleh
rekan-rekan sesama astronot karena dianggap mengabaikan prosedur sampai
akhirnya penyelidikan NASA menyimpulkan mereka tak bersalah. Armstrong
dan Scott bereaksi demikian karena masalah ini belum pernah
disimulasikan sebelumnya. Penyelidikan juga menyimpulkan masalah itu
muncul karena cacat fisik: ada kabel yang terkelupas sehingga terjadi
hubungan pendek.
Neil Armstrong (kiri) dan David Scott (kanan), keduanya masih dalam kabin Gemini 8 pasca pendaratan darurat dan menanti helikopter pengangkut. Sumber : NASA, 1966. |
Persinggungan lainnya terjadi kala Armstrong ditugasi mengujicoba kendaraan Lunar Landing Research Vehicle (LLRV) atau lebih populer dengan julukan Ranjang Terbang.
LLRV adalah sejenis pesawat yang bisa terbang dan mendarat secara tegak
lurus menyerupai helikopter, namun ditenagai oleh mesin jet khusus.
LLRV dirancang untuk menyimulasikan proses pendaratan di permukaan Bulan
yang gravitasinya hanya seperenam gravitasi Bumi. Pada 6 Mei 1968,
setelah berhasil melambungkan LLRV untuk kesekian kalinya hingga
mencapai ketinggian 30 meter, Armstrong mencoba mendaratkannya kembali.
Tanpa diduga, LLRV mendadak mulai miring ke satu sisi. Armstrong pun
segera menekan tombol pelontar kursi penyelamatnya tepat pada waktunya
dan berhasil mendarat dengan selamat dengan satu luka ringan pada
lidahnya karena tergigit. Analisis memperlihatkan, andaikata Armstrong
terlambat 0,5 detik saja menekan tombolnya, parasutnya tak bakal
mengembang sempurna dan ia bakal mencium Bumi dengan keras. Meski nyaris
terbunuh, Armstrong menyimpulkan LLRV cukup bermanfaat bagi para
astronot guna mengenali prosedur pendaratan di Bulan.
Persinggungannya
dengan zona kematian yang paling populer tentulah dalam misi antariksa
Apollo 11 yang melambungkan namanya. Setelah mengangkasa sejak 16 Juli
1969, Armstrong dan Edwin Aldrin yang menjadi tandemnya mengaktifkan
modul bulan Eagle dan memisahkannya dari modul komando Columbia.
Keterbatasan teknologi saat itu membuat Armstrong dan Aldrin menyadari
Eagle bakal meleset hingga sejauh beberapa kilometer dari target
pendaratan. Saat kian mendekati permukaan Bulan, mereka mendapati lokasi
pendaratan (yang semula nampak halus mulus) ternyata dipenuhi
bongkahan-bongkahan besar yang bisa merusak modul Eagle. Pada ketinggian
1,8 km, segera mereka mengubah proses pendaratan dari otomatis menjadi
semi-otomatis. Sehingga mereka bisa menggeser modul Eagle ke timur
menggunakan bahan bakar pendaratan, meski jumlahnya terbatas. Jika bahan
bakar pendaratan habis, Armstrong dan Aldrin tak punya pilihan lain
kecuali menekan tombol untuk membawa mereka mengangkasa kembali ke orbit
modul komando Columbia. Hingga 60 detik sebelum bahan bakar pendaratan
habis, tempat yang bagus belum ditemukan. Stasiun pengendali misi
Houston langsung berdebar dan senyap tatkala jumlah bahan bakar terus
menurun hingga tinggal 30 detik, sampai akhirnya Armstrong menemukan
tempat yang cocok. Di tengah ketegangan itu, dimana denyut jantung
Armstrong meroket hingga 165 kali per menit sementara pengendali misi
Houston telah lama menahan napas, modul Eagle pun mendarat dengan
selamat dengan sisa bahan bakar pendaratan hanya 5,6 %. Saat itulah
kata-kata bersejarah itu terucap: "Houston, Tranquility Base here. The Eagle has Landed."
Kini, tepat 43 tahun 35
hari setelah langkah kakinya yang bersejarah di lautan pasir
Transquilitatis di Bulan sembari mengucapkan kata-kata legendarisnya:"That's one small step for a man, one giant leap for mankind,"
Armstrong akhirnya benar-benar memasuki zona kematian. Ia memang telah
tiada. Namun namanya bakal abadi terpatri sepanjang masa, sebagai sosok
pembuka era baru dalam peradaban manusia dan melangkahkan kaki di bagian
lain tata surya kita.
Terimakasih sebesar-besarnya kepada salah satu guru saya di dunia maya, (yuph, karena kenalnya baru di Facebook aja, hehee...) bapak Ma'rufin Sudibyo untuk izin share tulisan ini, yang menurutku... beliau selalu berbagi pengetahuan dan memberi penjelasan-penjelasan logis dan sederhana untuk sesuatu hal yang kadang menurutku sulit dipahami atau disalah persepsikan oleh kebanyakan orang,
Oh iyaa, tentang Neil Armstrong ini, baca juga :
0 Comments